Berita

Bentuk peduli Wali amr, Mengajak anak mereka menuntut ilmu syari.

Bentuk peduli Wali amr, Mengajak anak mereka menuntut ilmu syari.

Oleh: Abu Ziyad Arslan

 

Para wali amr (orang tua) memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan pendidikan serta mengenalkan pentingnya Ilmu syari dan mempelajari dasar-dasarnya, perkara ini mengharuskan mereka memotivasi anak-anaknya semenjak kecil ke kuttab-kuttab (Taman pendidikan Al Quran) untuk menghafal Al-Qur'an atau sebagian surat yang mudah, lalu menghafal sebagian yang mudah dari sumber syariat kedua yaitu Hadits, begitupun mempelajari dasar membaca dan menulis, disamping memilihkan Murobbi (edukator: orang yang mengajarkan edukasi) dan Muaddib (orang yang mengajarkan adab, akhlak, budi pekerti) untuk anak-anak mereka (bagi yang mampu), bahkan tak sungkan meminta sang Murobbi untuk mengarahkan anak-anak mereka memulai dengan ilmu yang terpenting.

Diantara contoh perhatian wali amr dalam mengarahkan anak mereka menuntut ilmu semenjak belia:

Contoh yang akan disebutkan menunjukkan betapa melek dan fahamnya orang tua pada masa lampau,  apabila dibandingan dengan keadaan mayoritas orang tua pada masa kini dalam menentukan prioritas untuk kebaikan dunia dan akhirat anak mereka, yang mana pada masa kini tak sedikit orang tua yang justru menghalangi anak mereka belajar ilmu agama, melarang anaknya belajar dengan para Masyayikh (alim ulama) ataupun mencegah mereka berteman dengan para santri (penuntut ilmu syari). Mari kita lihat perbedaan yang kontras antara zaman now dan zaman orang Sholih dahulu.

 

1. Ibunda Sufyan Ats-tsauri berkata kepada dirinya sambil terus mendorongnya pergi ke halaqah-halaqah ilmu (tempat talaqqi: Majlis, kajian, dll), bermajlis kepada Masyayikh, dan Memenuhi majlis mereka dengan berlutut: "Wahai putraku! Ambilah sepuluh dirham ini, dan belajarlah sepuluh hadist. Apabila engkau temukan perubahan dalam dirimu; caramu duduk, caramu berjalan dan cara bicaramu maka lanjutkanlah, aku akan mensuportmu dengan (menjual) tenunanku ini. namun apabila tidak maka tinggalkanlah. Aku khawatir (ilmu yang engkau raih) menjadi bencana bagimu" - kitab Shifatu shofwah milik Ibnul Jauzi, bag.3/189

 

Perhatikan petuah edukatif ini, sang ibu yang cerdas ini menyatukan pendidikan, edukasi, akhlaq dan budi pekerti yang mungkin jarang sekali kita temukan pada wali amr zaman ini kecuali mereka yang sudah terbiasa ikut agenda khusus (seperti seminar) ataupun konsultasi seputar tarbiyah.

 

2. İmam Mâlik رحمه الله berkata:

"Dahulu ibuku berkata kepadaku: Pergilah tulislah ilmu (hadist)! Lalu berkata: Kemarilah dulu, pakailah baju ilmu, maka beliau memakaikanku mismaroh (kopiah ataupun sorban) lalu meletakkannya diatas kepalaku, dan membuat imamah diatasnya, seraya berkata: Nah, sekarang pergilah!

Dan beliau pun berkata kepadaku: pergilah ke Rabiaah (Rabiaah bin farrukh, Rabiatur ray: İmam dan Faqih Madinah), belajarlah adabnya sebelum ilmunya!"

 

İmam Mâlik رحمه الله berkata:

"Aku pernah belajar keterampilan ini (senandung, puisi) ketika aku masih muda, remaja. Maka ibuku menasihatiku: Wahai anakku keterampilan ini cocok dengan orang-orang yang mempunyai wajah yang menarik (rupawan), adapun kamu tidak begitu, maka tuntutlah ilmu-ilmu agama, mudah-mudahan Alloh menjadikan kebaikan yang banyak di dalamnya." - perkataan Abu at-thayyib at-thabari, Kitab Jami Li ahkâmil Qur'an milik al-Qurthubi, bag.14/15

 

Perhatikan kembali perkataannya: "belajarlah (ambilah) adabnya sebelum ilmunya!" Yang menunjukan bahwa para İbu zaman dahulu benar-benar Murobbi dan motivator bagi anak-anaknya.

 

3. İmam Asyafii رحمه الله berkata:

"Aku seorang yatim dibawah asuhan ibuku, beliau mendorongku ke kuttab, namun tidak memiliki sepeserpun untuk diberikan kepada Muallim (Guru), sang Muallim ridho kepadaku (beliau inginkan aku) menggantikan beliau (mengajar) ketika beliau sedang tidak ada, ketika aku telah mengkhatamkan Al Quran aku pun masuk ke (halaqoh ilmu yang ada di) Masjid, aku pun bermajlis kepada ulama, ketika itu aku mendengarkan suatu perkara agama ataupun Hadits aku harus menghafalnya karena ibuku tidak memiliki harta lebih untuk kubelikan lembar kertas yang kutulis di setiap lembarnya, akupun hanya memungut tulang, serpihan keramik, (tulang) bahu unta, sampai pelepah kurma agar bisa aku tulis hadits di atasnya, apabila telah penuh aku simpan ke dalam kendi (gentong air) yang ada di rumah kami.

Kemudian hari ibuku berkata kepadaku: kendi kendi ini membuat rumah kita semakin sempit, maka aku pun lantas membongkar seluruh isinya dan mulai menghafalnya kembali lalu membuangnya, kemudian setelah kejadian itu Alloh memudahkan aku safar (menuntut ilmu) ke negeri Yaman." - Kitab Jami Bayan Fadhlil ilmi wa ahlihi bag.1/98

 

Wahai pemuda dakwah, wahai penuntut ilmu dimana posisi kita dari semangat menuntut ilmu yang menggebu ini? Dimana kita dari ambisi yang langka ini? Dimana kita dari Qonaah yang sempurna milik İmam Al muthollibi (keturunan Quraish) ini? Mari kita tiru para Pionir ini apabila kita tidak bisa sama persis dengan mereka. Karena meniru orang-orang yang sukses lagi selamat merupakan suatu kesuksesan lagi keberhasilan.

 

4. Utbah bin Abi Sufyan berwasiat kepada Muaddib (pengajar adab) putranya dengan berkata: "Tolong ajarkan kepada nya Kitabullah (Al Quran), dan riwayatkan dia dari sebagian Hadits yang paling mulia, dan sebagian bait syair yang paling luhur."

 

5. Ali bin Ashim al-wasithi berkata: "Ayahku memotivasi aku dengan seratus ribu dirham, lantas berkata kepadaku: Pergi dan safarlah untuk menuntut ilmu, dan aku tidak ingin melihat wajahmu kecuali kamu sudah hafal seratus ribu hadits, maka pergilah (anak itu) dan berpindah-pindah untuk menuntut ilmu, kemudian dia kembali untuk membagikan ilmunya sampai majlisnya di hadiri lebih dari tiga puluh ribu orang." - Kitab tadzkirotul Hafizh bag.1/317

6. Mutamar bin Sulaiman berkata: "Ayahku mengirim surat kepadaku ketika aku di Kufah (Iraq): belilah shuhuf (buku), dan tulislah ilmu, sesungguhnya harta akan habis, namun ilmu akan tetap." - Kitab Raudhatul 'Uqala hal.39 salinan dari kitab warotsatul anbiya milik Abdul Karim Al Qosim hal.23_ footnote (2).

Begitulah gambaran perhatian orang tua dahulu, mereka faham bahwa anak adalah Amanah ada hak yang lebih urgent dari sandang dan pangan yaitu pendidikan. Bahkan mereka faham bahwa anak mereka adalah aset.

 

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : (( إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ ؛ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ)). رواه مسلم

 

"Dari Abu Hurairah رضي الله عنه berkata bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: ((Apabila seseorang meninggal amalannya akan terputus darinya kecuali tiga: Shodaqoh jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan anak yang Sholih yang mendoakannya))" HR. Muslim

Dan seluruh kebaikan itu berkumpul dalam ilmu yang bermanfaat. dengan ilmu kita menderma, dengan ilmu kita arahkan anak-anak kita menjadi Sholih. Karena tanpa ilmu setiap orang yang memiliki harta mungkin tidak tau apa itu sedekah, apa itu Wakaf? Karena tanpa ilmu setiap orang yang memiliki anak mungkin tidak faham bagaimana menjadikan anak-anak mereka Sholih dan Sholihah. ilmu disebut bermanfaat ketika dengannya kita selamat dunia dan akhirat. Dan sudah kita bahas ilmu apa yang dimaksud di https://www.uswatunhasanah-purwakarta.ponpes.id/berita/detail/156109/kenapa-harus-mondokkenapa-harus-belajar-agama/

Banyak dari raja dan pemilik harta binasa seiring berjalannya waktu dan habisnya usia. Adapun ilmu membuat pemiliknya dikenang, kebaikannya diingat, dan karyanya terus dipelajari dan dibaca. Wallohualam.

 

Sumber:

 

Kitab "لا نهضة للأمة إلّا بنهضة علمية راشدة", bag satu:

 حرص أولياء الأمور من الآباء و الأمهات، وحثهم أبناءهم علي تلقي العلم الشرعي,

hal: 22-25, milik Syaikh Amin Haj Muhammad Ahmad; Ketua Muslim Scholars Association. Dengan sedikit perubahan dan tambahan